Ironi SepakboLa Indonesia. Oke, kaLi ini Erwina Ristianingsih akan berbagi informasi tentang Ironi SepakboLa Indonesia.
"Lawan sudah mempersiapkan skuadnya sejak lama, sementara persiapan kita sangat singkat. Tim ini dibentuk kurang dalam waktu satu bulan dan diisi oleh pemain-pemain muda yang minim pengalaman."
Ungkapan itu kerap didengar oleh para jurnalis ketika menghadiri jumpa pers sesudah pertandingan sepanjang keikutsertaan timnas U-22 di babak kualifikasi Grup E Piala Asia U-22 di Pekanbaru, Riau. Kalimat klise itu juga yang kerap dijadikan apologi di setiap kegagalan skuad "Garuda Muda" di berbagai turnamen Asia.
Di kualifikasi Piala Asia U-22, Indonesia kembali gagal merajut prestasi karena hanya mampu menduduki peringkat tiga klasemen Grup E. Meski demikian, dari lima laga turnamen itu, publik bisa menilai peluh keringat 23 pemain timnas di dalam lapangan merupakan perjuangan yang patut diapresiasi.
Sejatinya, kurang logis jika pelatih dan pemain disalahkan atas kegagalan di kualifikasi Piala Asia itu. Tanggung jawab prestasi ini ada di pundak para pengurus federasi sepak bola. Pasalnya, mereka yang mengurusi pembinaan, persiapan, kompetisi, penyediaan fasilitas, hingga pendanaan. Sementara itu, kondisinya kini, pertikaian tiada henti, kompetisi karut-marut, dan pembinaan pemain muda jarang terjamah.
Ratusan juta masyarakat Indonesia pasti sadar bahwa dari Sabang sampai Merauke, tersimpan banyak talenta emas sepak bola. Tetapi, hingga saat ini tak ada tindakan yang lantang dari sejumlah pengurus sepak bola untuk persoalan krusial ini. Jika berbicara soal jabatan dan kursi, barulah mereka lantang berbicara.
Salah satu bukti nyata, pembinaan usia muda di Papua yang dikenal sebagai gudangnya penghasil pemain bintang bagi Indonesia berjalan seadanya. Hampir semua pemain dari Papua cemerlang dalam lapangan bukan dengan proses pembinaan dan kompetisi yang baik, melainkan karena potensi alami yang mereka miliki. Padahal, pelatih timnas U-22, Aji Santoso, menegaskan bahwa kompetisi yang baik menjadi syarat mutlak untuk pembinaan pemain usia muda.
"Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah sistem kompetisi. Karena pembinaan terbaik di dunia adalah kompetisi. Lebih baik jangan berbicara prestasi dulu jika kompetisi dan pembinaan muda tidak berjalan dengan baik," ungkap Aji, saat diwawancarai Kompas.com di sela-sela turnamen kualifikasi Piala Asia U-22.
"Penyakit" lama
Pernyataan itu memang benar adanya. Di negara mana pun, untuk memajukan sepak bola harus dimulai dari akar, yakni kompetisi dan pembinaan usia muda yang teroganisasi dengan baik. Sementara itu, sepak bola Indonesia masih sibuk dengan rentetan masalah internal federasi yang tak kunjung rampung.
Dari pertikaian para pengurus PSSI dan KPSI yang tiada henti, amburadulnya sistem kompetisi, praktik suap, rekayasa, hingga pengaturan skor terus terjadi dalam sepak bola Indonesia. Tidak ada keseriusan untuk membangun sepak bola secara bersama-sama dengan hati.
"Penyakit" lama itu tentunya semakin membuat Indonesia mengalami kemunduran luar biasa jika dibandingkan dengan sejumlah negara Asia. Padahal, Nusantara sempat merasakan masa emas sebagai "Macan Asia" pada era 1980 hingga 1990-an. Kini, julukan itu hanya tinggal kenangan seiring memburuknya prestasi.
Lihat saja Jepang, yang pada era 1980-an belajar dari kompetisi Galatama milik Indonesia, kini telah bertransformasi sebagai kiblat sepak bola Asia. Federasi Sepak Bola Jepang (JFA) mampu dengan baik membentuk struktur kompetisi J-League yang dipadu dengan pembinaan pemain muda yang luar biasa hebatnya.
Bintang skuad "Samurai Biru" yang sudah lalu lalang di kompetisi Eropa, seperti Hidetosi Nakata, Keisuke Honda, hingga Shinji Kagawa, adalah bukti kesuksesan mereka dalam mencetak bakat-bakat emas. Pembinaan usia muda dalam kompetisi dan federasi negara tersebut pun berjalan dengan baik.
Pelatih timnas U-22 Jepang, Yushahi Yoshida, saat ditemui di sela-sela latihan di Pekanbaru, mengungkapkan, timnasnya saat ini memilki dua kategori, yaitu pelajar dan pemain dari tim yang berasal dari klub J-League. Setiap klub di negara itu pun diharuskan mempunyai akademi sepak bola, yang setiap minggunya melakukan kompetisi untuk menambah pengalaman pemain mudanya.
"Kesuksesan kami bukan dari tim senior, tetapi yang paling penting adalah tim nasional kelompok umur. Ajari terus pemain sejak mereka masih muda karena banyak jam terbang sangat penting bagi mereka. Hal yang kami terapkan ini sama seperti yang dilakukan dalam pembinaan sepak bola Eropa," aku Yoshida.
Belajar dari contoh
Harusnya Indonesia dapat mencontoh Jepang, yang "rela" menyingkirkan harga dirinya sebagai penguasa Asia karena meniru sejumlah negara lain, termasuk Indonesia, demi perkembangan sepak bolanya. Padahal, di Eropa sudah banyak contoh membentuk pembinaan dan sistem kompetisi yang luar biasa hebat.
Jerman misalnya, ketika kegagalan skuad "Der Panzer" di Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000, Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) langsung sigap bereaksi. Embel-embel pemegang juara dunia tiga kali membuat DFB mengaku bersalah, dan tidak menyalahkan siapa pun, karena mereka sebagai penanggung jawab sepak bola di negerinya sendiri.
Walhasil, pada 2002, DFB bersama Liga Sepak Bola Jerman (DFL) dan Asosiasi Liga Jerman berkoordinasi untuk membangun pengembangan pemain usia muda. 36 klub yang bermain di Bundesliga I dan II diwajibkan untuk memiliki akademi mandiri. Setidaknya, setiap klub itu harus mempunyai 12 pemain di setiap kelompok umur yang memenuhi syarat untuk membela timnas Jerman.
Selain itu, DFB juga mendirikan sekitar 120 pusat sepak bola nasional yang khusus mendidik pemain berusia 10-17 tahun di seluruh pelosok Jerman. Bahkan, UU Imigrasi Jerman pun diubah untuk memberikan kemudahan kepada imigran usia muda untuk mendapatkan paspor Jerman. Cara ini dilakukan Jerman untuk melakukan "investasi" sepak bola negara mereka.
Bundesliga pun hanya cukup memiliki 18 klub, tidak seperti tiga kompetisi terbesar di Eropa, yakni Premier League, Serie-A, dan Liga BBVA, yang masing-masing mempunyai 20 klub dalam liga utamanya. Namun, jumlah lebih sedikit itu diikuti dengan penataan kualitas kompetisi yang baik, membuat Bundesliga dapat disejajarkan dengan Premier League dan Liga BBVA yang dikatakan sebagai kompetisi terbaik di dunia.
Maka, wajar jika sejumlah pemain muda Jepang mendarat ke Jerman untuk menimba ilmu untuk mengembangkan bakatnya. Salah satu bukti sukses pengembangan bakat itu adalah Shinji Kagawa, yang sukses membawa Borussia Dortmund menjuarai Bundesliga dan Piala Jerman musim lalu. Kini, gelandang berusia 23 tahun itu bermain di salah satu klub raksasa Eropa, Manchester United.
"Jerman memang menjadi salah satu tujuan untuk mengembangkan pemain muda Jepang. Kami telah banyak melakukan kerja sama, karena Jerman memiliki sistem kompetisi yang bagus untuk pemain-pemain muda," ungkap manajer timnas U-22 Jepang, Sueda, seusai latihan di Stadion Utama Kaharudin Nasution, Pekanbaru.
Kapan?
Melihat sejumlah fakta itu, pertanyaan besar patut disematkan kepada pengurus sepak bola Indonesia. Masyarakat tentunya sudah bosan, jika alasan minimnya persiapan, pemain kurang memiliki pengalaman, selalu dikumandangkan jika timnas menuai kegagalan.
Jangan sampai ulah para pejabat sepak bola yang seharusnya bertanggung jawab malah menyia-nyiakan bakat emas anak Negeri. Masalah krisis prestasi timnas jauh lebih penting daripada "agenda" pribadi atau golongan, apalagi kepentingan kelompok bisnis tertentu.
Kegagalan di putaran kualifikasi Piala Asia U-22 harus dijadikan momentum oleh semua insan sepak bola nasional untuk segera berbenah. Hanya satu yang diinginkan 240 juta masyarakat Indonesia saat ini, yaitu melihat tegaknya kepala pemuda bangsa itu di atas podium kemenangan dalam lapangan sepak bola.
Ungkapan itu kerap didengar oleh para jurnalis ketika menghadiri jumpa pers sesudah pertandingan sepanjang keikutsertaan timnas U-22 di babak kualifikasi Grup E Piala Asia U-22 di Pekanbaru, Riau. Kalimat klise itu juga yang kerap dijadikan apologi di setiap kegagalan skuad "Garuda Muda" di berbagai turnamen Asia.
Di kualifikasi Piala Asia U-22, Indonesia kembali gagal merajut prestasi karena hanya mampu menduduki peringkat tiga klasemen Grup E. Meski demikian, dari lima laga turnamen itu, publik bisa menilai peluh keringat 23 pemain timnas di dalam lapangan merupakan perjuangan yang patut diapresiasi.
Sejatinya, kurang logis jika pelatih dan pemain disalahkan atas kegagalan di kualifikasi Piala Asia itu. Tanggung jawab prestasi ini ada di pundak para pengurus federasi sepak bola. Pasalnya, mereka yang mengurusi pembinaan, persiapan, kompetisi, penyediaan fasilitas, hingga pendanaan. Sementara itu, kondisinya kini, pertikaian tiada henti, kompetisi karut-marut, dan pembinaan pemain muda jarang terjamah.
Ratusan juta masyarakat Indonesia pasti sadar bahwa dari Sabang sampai Merauke, tersimpan banyak talenta emas sepak bola. Tetapi, hingga saat ini tak ada tindakan yang lantang dari sejumlah pengurus sepak bola untuk persoalan krusial ini. Jika berbicara soal jabatan dan kursi, barulah mereka lantang berbicara.
Salah satu bukti nyata, pembinaan usia muda di Papua yang dikenal sebagai gudangnya penghasil pemain bintang bagi Indonesia berjalan seadanya. Hampir semua pemain dari Papua cemerlang dalam lapangan bukan dengan proses pembinaan dan kompetisi yang baik, melainkan karena potensi alami yang mereka miliki. Padahal, pelatih timnas U-22, Aji Santoso, menegaskan bahwa kompetisi yang baik menjadi syarat mutlak untuk pembinaan pemain usia muda.
"Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah sistem kompetisi. Karena pembinaan terbaik di dunia adalah kompetisi. Lebih baik jangan berbicara prestasi dulu jika kompetisi dan pembinaan muda tidak berjalan dengan baik," ungkap Aji, saat diwawancarai Kompas.com di sela-sela turnamen kualifikasi Piala Asia U-22.
"Penyakit" lama
Pernyataan itu memang benar adanya. Di negara mana pun, untuk memajukan sepak bola harus dimulai dari akar, yakni kompetisi dan pembinaan usia muda yang teroganisasi dengan baik. Sementara itu, sepak bola Indonesia masih sibuk dengan rentetan masalah internal federasi yang tak kunjung rampung.
Dari pertikaian para pengurus PSSI dan KPSI yang tiada henti, amburadulnya sistem kompetisi, praktik suap, rekayasa, hingga pengaturan skor terus terjadi dalam sepak bola Indonesia. Tidak ada keseriusan untuk membangun sepak bola secara bersama-sama dengan hati.
"Penyakit" lama itu tentunya semakin membuat Indonesia mengalami kemunduran luar biasa jika dibandingkan dengan sejumlah negara Asia. Padahal, Nusantara sempat merasakan masa emas sebagai "Macan Asia" pada era 1980 hingga 1990-an. Kini, julukan itu hanya tinggal kenangan seiring memburuknya prestasi.
Lihat saja Jepang, yang pada era 1980-an belajar dari kompetisi Galatama milik Indonesia, kini telah bertransformasi sebagai kiblat sepak bola Asia. Federasi Sepak Bola Jepang (JFA) mampu dengan baik membentuk struktur kompetisi J-League yang dipadu dengan pembinaan pemain muda yang luar biasa hebatnya.
Bintang skuad "Samurai Biru" yang sudah lalu lalang di kompetisi Eropa, seperti Hidetosi Nakata, Keisuke Honda, hingga Shinji Kagawa, adalah bukti kesuksesan mereka dalam mencetak bakat-bakat emas. Pembinaan usia muda dalam kompetisi dan federasi negara tersebut pun berjalan dengan baik.
Pelatih timnas U-22 Jepang, Yushahi Yoshida, saat ditemui di sela-sela latihan di Pekanbaru, mengungkapkan, timnasnya saat ini memilki dua kategori, yaitu pelajar dan pemain dari tim yang berasal dari klub J-League. Setiap klub di negara itu pun diharuskan mempunyai akademi sepak bola, yang setiap minggunya melakukan kompetisi untuk menambah pengalaman pemain mudanya.
"Kesuksesan kami bukan dari tim senior, tetapi yang paling penting adalah tim nasional kelompok umur. Ajari terus pemain sejak mereka masih muda karena banyak jam terbang sangat penting bagi mereka. Hal yang kami terapkan ini sama seperti yang dilakukan dalam pembinaan sepak bola Eropa," aku Yoshida.
Belajar dari contoh
Harusnya Indonesia dapat mencontoh Jepang, yang "rela" menyingkirkan harga dirinya sebagai penguasa Asia karena meniru sejumlah negara lain, termasuk Indonesia, demi perkembangan sepak bolanya. Padahal, di Eropa sudah banyak contoh membentuk pembinaan dan sistem kompetisi yang luar biasa hebat.
Jerman misalnya, ketika kegagalan skuad "Der Panzer" di Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000, Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) langsung sigap bereaksi. Embel-embel pemegang juara dunia tiga kali membuat DFB mengaku bersalah, dan tidak menyalahkan siapa pun, karena mereka sebagai penanggung jawab sepak bola di negerinya sendiri.
Walhasil, pada 2002, DFB bersama Liga Sepak Bola Jerman (DFL) dan Asosiasi Liga Jerman berkoordinasi untuk membangun pengembangan pemain usia muda. 36 klub yang bermain di Bundesliga I dan II diwajibkan untuk memiliki akademi mandiri. Setidaknya, setiap klub itu harus mempunyai 12 pemain di setiap kelompok umur yang memenuhi syarat untuk membela timnas Jerman.
Selain itu, DFB juga mendirikan sekitar 120 pusat sepak bola nasional yang khusus mendidik pemain berusia 10-17 tahun di seluruh pelosok Jerman. Bahkan, UU Imigrasi Jerman pun diubah untuk memberikan kemudahan kepada imigran usia muda untuk mendapatkan paspor Jerman. Cara ini dilakukan Jerman untuk melakukan "investasi" sepak bola negara mereka.
Bundesliga pun hanya cukup memiliki 18 klub, tidak seperti tiga kompetisi terbesar di Eropa, yakni Premier League, Serie-A, dan Liga BBVA, yang masing-masing mempunyai 20 klub dalam liga utamanya. Namun, jumlah lebih sedikit itu diikuti dengan penataan kualitas kompetisi yang baik, membuat Bundesliga dapat disejajarkan dengan Premier League dan Liga BBVA yang dikatakan sebagai kompetisi terbaik di dunia.
Maka, wajar jika sejumlah pemain muda Jepang mendarat ke Jerman untuk menimba ilmu untuk mengembangkan bakatnya. Salah satu bukti sukses pengembangan bakat itu adalah Shinji Kagawa, yang sukses membawa Borussia Dortmund menjuarai Bundesliga dan Piala Jerman musim lalu. Kini, gelandang berusia 23 tahun itu bermain di salah satu klub raksasa Eropa, Manchester United.
"Jerman memang menjadi salah satu tujuan untuk mengembangkan pemain muda Jepang. Kami telah banyak melakukan kerja sama, karena Jerman memiliki sistem kompetisi yang bagus untuk pemain-pemain muda," ungkap manajer timnas U-22 Jepang, Sueda, seusai latihan di Stadion Utama Kaharudin Nasution, Pekanbaru.
Kapan?
Melihat sejumlah fakta itu, pertanyaan besar patut disematkan kepada pengurus sepak bola Indonesia. Masyarakat tentunya sudah bosan, jika alasan minimnya persiapan, pemain kurang memiliki pengalaman, selalu dikumandangkan jika timnas menuai kegagalan.
Jangan sampai ulah para pejabat sepak bola yang seharusnya bertanggung jawab malah menyia-nyiakan bakat emas anak Negeri. Masalah krisis prestasi timnas jauh lebih penting daripada "agenda" pribadi atau golongan, apalagi kepentingan kelompok bisnis tertentu.
Kegagalan di putaran kualifikasi Piala Asia U-22 harus dijadikan momentum oleh semua insan sepak bola nasional untuk segera berbenah. Hanya satu yang diinginkan 240 juta masyarakat Indonesia saat ini, yaitu melihat tegaknya kepala pemuda bangsa itu di atas podium kemenangan dalam lapangan sepak bola.
Terima Kasih
Judul: Ironi SepakboLa Indonesia
Rating: 100% based on 99994 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Rating: 100% based on 99994 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
0 komentar:
Posting Komentar